Beranda | Artikel
Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 3)
Jumat, 1 April 2011

(dikutip dari buku : “DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA”

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda)

 

Uang ini Bukan dari Saya, tetapi dari Orang Lain

Dan, kisah berikut ini sebenarnya tidak ingin saya sampaikan, bahkan mungkin tidak boleh saya sampaikan. Akan tetapi karena melihat faedah yang begitu besar maka saya nekat menyampaikannya. Semoga Allah memaafkan saya.

Syaikh pernah memberikan bantuan kepada salah seorang ikhwah berupa sejumlah uang karena waktu itu ada yang mengabarkan kepada beliau bahwasanya istri ikhwan tersebut telah melakukan operasi caesar.  Maka tatkala beliau masuk kelas untuk mengisi kuliah, dan melihat ikhwan tersebut hadir di kuliah, beliau berkata kepada ikhwan tersebut dengan suara lirih, “Fulan, saya ingin berbicara denganmu setelah pelajaran.”

Setelah selesai pelajaran, seperti biasa para mahasiswa berkumpul di sekeliling beliau untuk menanyakan permasalahan-permasalahan agama, dan si ikhwan juga mengikuti beliau. Hingga saat mahasiswa bubar meninggalkan beliau maka beliau pun mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya kepada si ikhwan tersebut sembari berkata, “Uang ini bukan hanya dari saya, tapi dari beberapa orang baik. Saya harap jangan kau ceritakan kepada siapa pun juga, dan lupakanlah pemberian saya ini. Anggap saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.”

Subhanallah! Lihatlah dua pelajaran yang bisa kita ambil dari perkataan beliau ini.

Yang pertama, beliau menjelaskan bahwa uang ini bukan hanya berasal dari beliau. Hal ini menunjukkan keikhlasan beliau, dan jauhnya beliau dari sikap ingin dipuji. Apalagi dipuji dengan sesuatu yang tidak beliau lakukan. Seandainya beliau tidak mengatakan demikian, tentunya saya akan mengira bahwasanya uang tersebut seluruhnya berasal dari beliau. Dan, sebenarnya beliau tidak perlu menjelaskan bahwa uang tersebut bukanlah seluruhnya dari beliau, yang penting tujuannya adalah bantuan tersampaikan kepada yang membutuhkan.

Hal semacam ini aku saksikan lagi ketika beliau di Jakarta. Saat itu, ada seseorang ustadz yang datang kepada beliau dan menceritakan kerinduannya untuk bertemu Syaikh, bahkan meskipun harus meninggalkan istrinya yang sakit dan ada kemungkinan harus dioperasi. Bahkan sampai orang tersebut menangis di hadapan Syaikh karena sudah lama dia tidak mendengar nasihat-nasihat yang berharga dari para ulama. Setelah ustadz tersebut pergi, beliau meminta salah seorang donatur kalau tidak keberatan untuk menanggung biaya operasi istri ustadz tersebut. Sang donatur pun bersedia. Setelah itu Syaikh pun menelepon sang Ustadz dan meminta nomor rekening, kemudian beliau berkata, “Kami akan mentransfer uang ke rekeningmu sejumlah lima juta rupiah. Tapi uang tersebut bukan dari saya, ada seorang donatur yang memberikannya hadiah untukmu.”

Kejadian yang lain, suatu saat ada seorang ikhwan yang mengunjungi rumah Syaikh, maka Syaikh pun bertanya, “Apakah engkau liburan di negaramu pada liburan musim panas kemarin?”

“Alhamdulillah,” jawab ikhwan tersebut.

Syaikh pun bertanya lagi, “Bagaimana keadaan ibumu? Apakah engkau bertemu dengannya?”

Maka sang ikhwan terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya tidak sempat mengunjungi ibu saya karena tempatnya yang jauh dari ibu kota negara saya, dan saya hanya berlibur sekitar sepekan saja di sana. Jadi, saya hanya menelepon beliau.”

Syaikh pun terlihat kaget, lalu mulailah syaikh menasihati ikhwan tersebut akan pentingnya bertemu dengan ibunya bahwa itu merupakan amalan yang luar biasa di hadapan Allah. Berlinanganlah air mata sang ikhwan, bahkan semakin deras mengingat sikapnya yang salah dengan tidak menyempatkan waktu untuk mengunjungi ibunya.

Sambil terisak-isak, sang ikhwan berkata, “Saya sebenarnya ingin menemui ibu saya. Hanya saja, saya tidak punya biaya untuk pergi ke tempat beliau. Tiket pesawat cukup mahal, dan saat itu saya tidak punya uang.”

Syaikh lalu berkata, “Usahakan ibumu untuk bisa naik haji, nanti masalah biaya saya yang atur.”

Beberapa hari kemudian, Syaikh memberikan seluruh ongkos naik haji kepada sang ikhwan, sambil berkata, “Ini biaya dari salah seorang donatur.”

Demikianlah Syaikh, apabila suatu amalan kebaikan bukan berasal dari beliau maka beliau pun mengabarkannya dengan terus terang agar tidak disangka beliau yang melakukan amal tersebut.

Hal ini tentunya berbeda dengan kenyataan sebagian orang. Ada sebagian orang yang hanya berperan sebagai perantara (penyalur) dari sumbangan yang berasal dari orang lain, tetapi mereka mengesankan kepada masyarakat atau kepada penerima sumbangan seakan-akan bantuan tersebut keluar dari kantong dan usaha mereka sendiri. Bahkan, mereka menyebut-nyebut hal ini untuk mengingatkan kepada si penerima sumbangan agar jangan melupakan jasa mereka.

Apakah mereka tidak takut termasuk dalam sifat orang-orang yang tercela yang difirmankan Allah:

وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا

Mereka suka dipuji pada perkara yang tidak mereka lakukan. (Q.S. Ali Imran: 188)

Sikap buruk ini –ingin dipuji dengan sesuatu yang tidak dimiliki- telah diperingatkan dan dicela oleh Nabi dalam sabdanya :

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كلَابِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

“Barang siapa yang bergaya (berhias) dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka sesungguhnya dia telah memakai dua baju kedustaan.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya no 5219 dan Al-Imam Muslim dalam shahihnya no 2130)

Asbabul wurud hadits ini adalah:

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي ضَرَّةً فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي

“Ada seorang wanita yang berkata kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki madu. Bolehkah aku berhias di hadapannya dengan sesuatu yang tidak diberikan suamiku kepadaku?”

Maksudnya adalah dengan berpura-pura suaminya memberikan sesuatu kepadanya, sehingga seakan-akan suaminya lebih sayang kepadanya. Hal ini tentu akan menjadikan madunya teperdaya dan menyangka suaminya benar-benar melakukan hal tersebut.

Ada beberapa penafsiran dari kalangan ulama tentang maksud hadits ini, di antaranya:

1.      Maksud Nabi dengan dua pakaian kedustaan adalah seseorang yang memakai pakaian dengan gaya pakaian ahli zuhud sehingga masyarakat yang melihatnya akan menyangka dia termasuk orang yang zuhud, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Atas penafsiran ini, yang dimaksud Nabi dari dua kain kedustaan adalah izar dan ridda’ yang dipakai oleh orang-orang zuhud.

2.      Maksud Nabi dengan dua pakaian kedustaan adalah seakan-akan dia telah menunjukkan dua kedustaan kepada dua orang lain. Penafsiran ini lebih dekat kepada asbabul wurud, karena wanita tersebut telah menampakkan dua kedustaan kepada madunya. Dusta yang pertama: dia berdusta bahwa suaminya telah memberikannya sesuatu. Dusta yang kedua: wanita tersebut menampakkan kepada madunya seakan-akan dia lebih dicintai oleh suaminya dari pada madunya, dengan dalil dia telah diberikan sesuatu dari suaminya yang tidak diberikan kepada madunya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 6/153-154).

Namun, maksud dari kedua tafsiran ini adalah sama dan berdekatan maknanya. Hadits yang kelihatannya sederhana ini ternyata merupakan cambuk yang sangat pedas terhadap sebagian orang yang mencoba menampakkan kepada orang lain akan kehebatan yang tidak dimilikinya. Oleh karena itu, sungguh hati ini tersayat tatkala melihat praktik sebagian kita yang terkena ancaman hadits ini. Di antara praktik-praktik yang pernah dilakukan tersebut adalah:

a.      Ada yang menerjemahkan naskah ceramah atau tulisan seorang ulama, lantas dia mengesankan bahwa dialah yang telah berletih-letih menyusun tulisan tersebut. Bahkan, sebagaimana yang pernah saya lihat di sebuah tabloid Ahlus Sunah, ada yang menerjemahkan makalah seorang ulama, lantas nama ulama tersebut sama sekali tidak disebutkan. Dia dengan tanpa malu mencantumkan namanya sebagai penulis makalah tersebut. Tentunya orang awam tidak tahu akan hal ini, akan tetapi sebagian orang yang sedikit sering menelaah buku para ulama akan mengetahui hal tersebut. Sungguh, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam: “Dia telah memakai dua pakaian kedustaan.” Andaikata dia menjelaskan bahwa dia hanyalah penerjemah, tentunya itu lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah; jujur bahwa dia sekadar penerjemah, dan jujur bahwa ilmunya belum sampai untuk menulis seperti tulisan ulama tersebut.

b.      Ada juga orang yang meringkas tulisan dari buku atau makalah tentang sebuah permasalahan fikih, terutama permasalahan fiqh yang cukup pelik, lantas dia mengesankan kepada pembaca seakan-akan dia yang telah membahas permasalahan tersebut. Padahal dia hanya menukil atau meringkas.

c.       Saya juga mendapati sebagian orang tatkala menyalurkan sumbangan dari para donatur, mengesankan kepada para penerima sumbangan seakan-akan dialah yang telah mengeluarkan dana. Padahal dia hanya sebagai penyalur.

d.     Sebagian orang yang dipercayai para donatur luar negeri untuk membangun masjid kadang mengesankan kepada para donatur bahwasanya dia mampu membangun masjid yang bagus dengan dana yang sedikit. Padahal, perkaranya tidak demikian, karena sebagian dana bersumber dari masyarkat setempat.

Syukurlah, kepiluan hati ini terobati tatkala melihat betapa banyak saudara-saudaraku, baik yang belajar di Madinah, Qosim, Yaman, bahkan yang tidak pernah belajar Timur Tengah sekalipun, banyak berkarya dengan karya-karya ilmiah yang menunjukkan kepiawaian ilmu mereka. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang telah Ia anugerahkan kepada mereka.

Pelajaran kedua : Perkataan Syaikh: “Saya harap jangan kauceritakan kepada siapa pun juga, dan lupakanlah pemberian saya ini. Anggap saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa,” sungguh menunjukkan ketulusan hati dan keikhlasan niat beliau. Saya teringat nasihat Abu Hazim Salamah bin Dinar:

اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam “Al-Ma’rifah wa At-Tarikh” (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasq (22/68))

Dalam riwayat yang lain beliau berkata:

أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu. Dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500)

Maka, mencermati apa yang dilakukan oleh Syaikh sebagaimana dalam cerita di atas, saya yakin semua itu beliau lakukan karena keikhlasan. Karena beliau tidak mau tersohor. Dan, bukankah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَاضَعَ لله رَفَعَهُ اللهُ

Barang siapa yang bersikap tawadhuk (merendah) maka Allah akan mengangkatnya. (Hadits shahih dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam as-Shahihah no 2328)

Demikianlah, sikap beliau yang tidak ingin dipuji dan tidak ingin tersohor justru yang membuat beliau tersohor.

Para pembaca budiman, demikanlah kira-kira sosok Syaikh Abdurrozzaq, yang semua ini semakin menambah keraguan saya untuk melanjutkan kisah tentang beliau selama saya menemani perjalanan beliau di Indonesia. Sekali lagi, keraguan tersebut akhirnya terkalahkan mengingat banyaknya faedah yang bisa diambil, serta permintaan dari banyak pihak yang menghendaki saya melanjutkan menulisnya semata-mata agar lebih luas manfaat tersebut tersebarkan.

bersambung …

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/328-mendulang-pelajaran-akhlak-dari-syaikh-abdurrozzaq-al-badr-hafizhahullah-seri-3.html